BEJO
SI BEO HIJAU JENIUS
Deeto Kongo
Pada
zaman dahulu kala, hiduplah seekor burung beo hijau bernama Bejo. Ia tinggal di
hutan meranti, sehingga dia tidak terlalu khawatir akan tidak memiliki rumah.
Beo tinggal sendirian. Ia tinggal di pohon meranti yang paling besar di hutan
itu. Semenjak ibu dan ayahnya meninggal dua tahun lalu akibat ditembak pemburu
liar, dia menjadi yatim-piatu. Sungguh kasihan dia. Untungnya, dia sudah cukup
dewasa untuk mencari makan sendiri. Makanannya biji-bijian, namun dia lebih
suka burger keju buatan sendiri.
Pada
suatu pagi yang sejuk, Bejo jalan-jalan dengan sepedanya yang dibeli oleh
ayahnya. Ketik melewati pinggiran hutan, tanpa sengaja Bejo menemukan beberapa
orang asing yang belum pernah dikenalnya. Dia pun mendekati mereka dengan
diam-diam, karena takut ketahuan. Karena percakapan di antara mereka terlihat
mencurigakan, Bejo pun berusaha mencuri-curi dengar apa yang mereka katakan.
“Pokoknya,
kita harus tebangin seluruh pohon yang ada di hutan ini! Dengan begitu, kita
akan dapet duit dari hasil penjualan itu kayu. Katanya, harga kayu meranti lagi
naik sekarang. Oke!?” kata seorang penebang berambut cepak.
“Ya
udah, sekarang aja kita tebang. Biar cepet kelarnya,” tukas penebang pohon yang
lain. Penebang yang satu ini berambut agak gondrong dan memiliki tato ikan
bandeng presto.
“Dasar
idiot! Sekarang kan kita nggak bawa alat-alatnya! Gimana sih loe, gitu aja
nggak ngerti!” omel penebang yang jauh lebih galak menurut Bejo. Tampangnya
sangar, kumisnya tebal seperti iklan produk wafer di televisi. Berapa lapis??
Ratuuusaan!
“Begini,
jadi kita bakal tebangin seluruh isi hutan ini. Dan pastiin bawa semua
alat-alat yang kita punya. Oke!?” seru penebang cepak.
“Oke!”
seru penebang yang lain.
Mendengar
rencana yang menurutnya tidak baik itu, Bejo langsung keringat panas-dingin.
Mengapa panas-dingin? Karena menurutnya, keringat dingin itu sudah biasa. Dia
ingin keringatnya terkesan eksklusif, berbeda dengan yang lain. Daripada biang
keringat, nanti menderita gatal-gatal. Bejo yang hanya mengandalkan paruhnya
untuk menggaruk dirinya bila sedang gatal-gatal, akan lebih sengsara lagi hanya
karena gatal-gatal.
Setelah
membahas soal keringat panas-dingin dan gatal-gatal, Bejo langsung pulang ke
rumahnya. Sorenya, dia mengumpulkan teman-temannya dari segala jenis hewan.
Dari yang besar sampai yang kecil, dia panggil semuanya untuk diajak rapat soal
rencana tidak baik tadi pagi dia dengar. Rapat ini dimaksudkan untuk membahas
apa yang harus dilakukan agar seluruh penebang liar itu tidak jadi menebang
hutan.
“Teman-teman,
kita kudu cegah itu penebang-penebang sialan supaya mereka nggak nebagng hutan
kita seenak perutnya aja kayak gitu. Ada yang punya usul?”
“Bagaimana
kalo kita langsung serang aja? Biar rusuh,” ujar Kampu si kambing putih.
“Jangan!
Kita harus berpikir dulu sebelum bertindak. Ntar kalo salah, malah kita yang
ko’it,” tukas Rume. Rume adalah rubah merah yang panjang ekornya hampir sama
dengan panjang tubuhnya.
“Begini
aja, sambung si Bejo. “Malam ini, kita pake jebakan yang rada kejam. Yang
penting, ada efek jera dulu. Begitu udah pada ketakutan, kita semua langsung
serbu itu penebang sialan. Kita keroyok mereka, kan jumlah kita jauh lebih
banyak tuh. Yang penting, mereka kita usir dari hutan ini. Bagaimana? Loe-loe pada
semua setuju kagak?”
“Setujuu......”
Maka,
malam itu semua hewan yang ada di segala penjuru hutan membuat berbagai macam
jebakan. Mulai dari lubang berisi lumpur yang ditutupi tumpukan rumput, jeratan
akar pohon, hingga batang pohon meranti yang diikat dengan dua utas tali. Tidak
lupa, mereka semua dilengkapi dengan beberapa butir kelapa untuk menghalau
penebang itu di saat-saat terakhir. Keesokan harinya, para penebang yang memang
berniat untuk membabat habis seluruh pohon meranti yang ada di hutan itu.
Mereka membawa alat-alat untuk menebang, topi kuning, dan dua termos berisi air
panas serta beberapa bungkus kopi. Dan juga, beberapa nasi bungkus untuk makan
siang. Setelah mereka semua siap untuk menebang, mereka langsung masuk hutan
setelah sebelumnya membaca basmalah. (ah, penebang liar saja masih
sempat-sempatnya baca basmalah!)
Begitu
penebang yang berambut cepak baru memasuki hutan beberapa langkah, tiba-tiba
dia terperosok ke dalam jebakan lubang berisi lumpur yang ditutupi rumput
sehingga tidak terlihat.
“Gusraaakk!”
“Anjrit!
Siapa nih yang bikin jebakan kayak gini!? Mau cari mati tuh orang! Belom tau
siapa gue kali!” si penebang cepak misuh-misuh.
“Makanya,
jalan tuh pake mata. Dasar bego!” omel teman sesama penebang liarnya yang
berkumis tebal.
“Jalan
mah pake kaki, tolol!” sungut penebang yang berambut gondrong.
Tidak
lama kemudian, penebang berkumis tebal terkena jebakan lain. Dia kakinya
tersangkut jerat akar pohon. Alhasi, dia jatuh terjerembab. Parahnya, mukanya
tepat mendarat di atas kotoran kerbau.
“Kurang
ajar! Muka gue kena kotoran kerbau! Kegantengan gue jadi ilang deh!” dia mengutuk
dirinya sendiri.
“Mampus
luh! Makan tuh kotoran kerbau! Ha ha ha ha......”
Berikutnya,
giliran penebang liar yang berambut gondrong yang terkena imbasnya. Kali ini
dia terhantam kayu meranti yang diikat pada dua utas tali. Jebakan ini spesial
buatan Bejo sendiri. Hasilnya, penebang itu jatuh tersungkur.
“Gedebuk,
Gubraak!”
“Aduuh,
Sialan! Gue kena cium kayu meranti! Mana gede banget kayunya!”
Sayangnya,
mereka tetap saja berusaha masuk ke dalam hutan itu lebih dalam lagi. Saat
itulah, Bejo memberi aba-aba untuk menyerang bersama-sama. Para penebang itu
tentu saja kalang kabut, begitu mengetahui bahwa mereka bertiga diserang
puluhan hewan dari berbagai jenis dan ukuran. Mereka pun lari terbirit-birit
keluar dari hutan itu.
Seluruh
hewan yang ada bersorak gembira merayakan keberhasilan mereka dalam mengusir
para penebang liar itu. Pujian datang kepada Bejo sebagai pemberi informasi.
Karena tanpa dia, mungkin mereka akan kehilangan tempat tinggal mereka
satu-satunya akibat niat jahat para penebang liar itu.