Jumat, 16 November 2012

Bejo Si Beo Hijau Jenius


BEJO SI BEO HIJAU JENIUS 
Deeto Kongo 

Pada zaman dahulu kala, hiduplah seekor burung beo hijau bernama Bejo. Ia tinggal di hutan meranti, sehingga dia tidak terlalu khawatir akan tidak memiliki rumah. Beo tinggal sendirian. Ia tinggal di pohon meranti yang paling besar di hutan itu. Semenjak ibu dan ayahnya meninggal dua tahun lalu akibat ditembak pemburu liar, dia menjadi yatim-piatu. Sungguh kasihan dia. Untungnya, dia sudah cukup dewasa untuk mencari makan sendiri. Makanannya biji-bijian, namun dia lebih suka burger keju buatan sendiri.
Pada suatu pagi yang sejuk, Bejo jalan-jalan dengan sepedanya yang dibeli oleh ayahnya. Ketik melewati pinggiran hutan, tanpa sengaja Bejo menemukan beberapa orang asing yang belum pernah dikenalnya. Dia pun mendekati mereka dengan diam-diam, karena takut ketahuan. Karena percakapan di antara mereka terlihat mencurigakan, Bejo pun berusaha mencuri-curi dengar apa yang mereka katakan.
“Pokoknya, kita harus tebangin seluruh pohon yang ada di hutan ini! Dengan begitu, kita akan dapet duit dari hasil penjualan itu kayu. Katanya, harga kayu meranti lagi naik sekarang. Oke!?” kata seorang penebang berambut cepak.
“Ya udah, sekarang aja kita tebang. Biar cepet kelarnya,” tukas penebang pohon yang lain. Penebang yang satu ini berambut agak gondrong dan memiliki tato ikan bandeng presto.
“Dasar idiot! Sekarang kan kita nggak bawa alat-alatnya! Gimana sih loe, gitu aja nggak ngerti!” omel penebang yang jauh lebih galak menurut Bejo. Tampangnya sangar, kumisnya tebal seperti iklan produk wafer di televisi. Berapa lapis?? Ratuuusaan!
“Begini, jadi kita bakal tebangin seluruh isi hutan ini. Dan pastiin bawa semua alat-alat yang kita punya. Oke!?” seru penebang cepak.
“Oke!” seru penebang yang lain.
Mendengar rencana yang menurutnya tidak baik itu, Bejo langsung keringat panas-dingin. Mengapa panas-dingin? Karena menurutnya, keringat dingin itu sudah biasa. Dia ingin keringatnya terkesan eksklusif, berbeda dengan yang lain. Daripada biang keringat, nanti menderita gatal-gatal. Bejo yang hanya mengandalkan paruhnya untuk menggaruk dirinya bila sedang gatal-gatal, akan lebih sengsara lagi hanya karena gatal-gatal.
Setelah membahas soal keringat panas-dingin dan gatal-gatal, Bejo langsung pulang ke rumahnya. Sorenya, dia mengumpulkan teman-temannya dari segala jenis hewan. Dari yang besar sampai yang kecil, dia panggil semuanya untuk diajak rapat soal rencana tidak baik tadi pagi dia dengar. Rapat ini dimaksudkan untuk membahas apa yang harus dilakukan agar seluruh penebang liar itu tidak jadi menebang hutan.
“Teman-teman, kita kudu cegah itu penebang-penebang sialan supaya mereka nggak nebagng hutan kita seenak perutnya aja kayak gitu. Ada yang punya usul?”
“Bagaimana kalo kita langsung serang aja? Biar rusuh,” ujar Kampu si kambing putih.
“Jangan! Kita harus berpikir dulu sebelum bertindak. Ntar kalo salah, malah kita yang ko’it,” tukas Rume. Rume adalah rubah merah yang panjang ekornya hampir sama dengan panjang tubuhnya.
“Begini aja, sambung si Bejo. “Malam ini, kita pake jebakan yang rada kejam. Yang penting, ada efek jera dulu. Begitu udah pada ketakutan, kita semua langsung serbu itu penebang sialan. Kita keroyok mereka, kan jumlah kita jauh lebih banyak tuh. Yang penting, mereka kita usir dari hutan ini. Bagaimana? Loe-loe pada semua setuju kagak?”
“Setujuu......”
Maka, malam itu semua hewan yang ada di segala penjuru hutan membuat berbagai macam jebakan. Mulai dari lubang berisi lumpur yang ditutupi tumpukan rumput, jeratan akar pohon, hingga batang pohon meranti yang diikat dengan dua utas tali. Tidak lupa, mereka semua dilengkapi dengan beberapa butir kelapa untuk menghalau penebang itu di saat-saat terakhir. Keesokan harinya, para penebang yang memang berniat untuk membabat habis seluruh pohon meranti yang ada di hutan itu. Mereka membawa alat-alat untuk menebang, topi kuning, dan dua termos berisi air panas serta beberapa bungkus kopi. Dan juga, beberapa nasi bungkus untuk makan siang. Setelah mereka semua siap untuk menebang, mereka langsung masuk hutan setelah sebelumnya membaca basmalah. (ah, penebang liar saja masih sempat-sempatnya baca basmalah!)
Begitu penebang yang berambut cepak baru memasuki hutan beberapa langkah, tiba-tiba dia terperosok ke dalam jebakan lubang berisi lumpur yang ditutupi rumput sehingga tidak terlihat.
“Gusraaakk!”
“Anjrit! Siapa nih yang bikin jebakan kayak gini!? Mau cari mati tuh orang! Belom tau siapa gue kali!” si penebang cepak misuh-misuh.
“Makanya, jalan tuh pake mata. Dasar bego!” omel teman sesama penebang liarnya yang berkumis tebal.
“Jalan mah pake kaki, tolol!” sungut penebang yang berambut gondrong.
Tidak lama kemudian, penebang berkumis tebal terkena jebakan lain. Dia kakinya tersangkut jerat akar pohon. Alhasi, dia jatuh terjerembab. Parahnya, mukanya tepat mendarat di atas kotoran kerbau.
“Kurang ajar! Muka gue kena kotoran kerbau! Kegantengan gue jadi ilang deh!” dia mengutuk dirinya sendiri.
“Mampus luh! Makan tuh kotoran kerbau! Ha ha ha ha......”
Berikutnya, giliran penebang liar yang berambut gondrong yang terkena imbasnya. Kali ini dia terhantam kayu meranti yang diikat pada dua utas tali. Jebakan ini spesial buatan Bejo sendiri. Hasilnya, penebang itu jatuh tersungkur.
“Gedebuk, Gubraak!”
“Aduuh, Sialan! Gue kena cium kayu meranti! Mana gede banget kayunya!”
Sayangnya, mereka tetap saja berusaha masuk ke dalam hutan itu lebih dalam lagi. Saat itulah, Bejo memberi aba-aba untuk menyerang bersama-sama. Para penebang itu tentu saja kalang kabut, begitu mengetahui bahwa mereka bertiga diserang puluhan hewan dari berbagai jenis dan ukuran. Mereka pun lari terbirit-birit keluar dari hutan itu.
Seluruh hewan yang ada bersorak gembira merayakan keberhasilan mereka dalam mengusir para penebang liar itu. Pujian datang kepada Bejo sebagai pemberi informasi. Karena tanpa dia, mungkin mereka akan kehilangan tempat tinggal mereka satu-satunya akibat niat jahat para penebang liar itu. 

Uka Apais Kongo


UKA APAIS KONGO 
Deeto Kongo


Aku Uka Apais Kongo, dari negara yang katanya bernama Indonesia. Aku adalah pembalap kelas Moto2 dari tim Kongo-Green Tea Racing Team, berumur 20 tahun, berambut ikal tidak karuan, dan belum punya kekasih. Hari ini adalah balapan yang menentukan statusku sebagai pembalap papan atas.
Bukan papan tulis, apalagi papan catur.
Seri terakhir balap yang akan kujalani ini berlangsung di sirkuit Ricardo Tormo, Valencia. Aku berada di peringkat dua klasemen sementara dengan poin 325, di bawah Ferdinand Aid Apais yang menduduki peringkat atas klasemen sementara dengan poin 329.
Sejak kecil, aku sudah mengikuti beberapa kejuaraan balap motor. Mulai kejuaraan pocket bike, hingga kejuaraan balap motocross. Aku memang bercita-cita menjadi seorang pembalap. Pembalap yang namanya akan dikenang oleh seluruh dunia.
Dunia manusia.
Bukan dunia binatang.
Apalagi dunia lain.
Hiiyyy, sereeem.....
Kata orang, menjadi pembalap itu risikonya besar. Bayangkan bila kau terjatuh dari motormu dalam kecepatan minimal 100 km/jam. Belum lagi dampak dari jatuhmu itu. Kau bisa saja patah tulang, patah rusuk, patah tangan dan patah leher. Tapi aku tetap bersikukuh ingin menjadi pembalap. Alasanku, hanya patah hati saja yang belum ada obatnya.
Jantungku berdegup kencang.
Napasku menjadi tidak teratur.
Untung limpaku baik-baik saja.
Aku sudah berada di atas pacuan. Motor prototype bermesin 1.000cc, dua aliran cairan pendingin, enam percepatan, pelek KongoRimz, peredam kejut KongoSorber, ban depan tipe medium dan ban belakang tipe hard, dipadu dengan sasis KongoChas serta didukung KongoLube untuk pelumasan. Tidak lupa, helm KNG dan baju balap Kongostars sebagai pengaman diriku dalam balap. Aku dipayungi oleh umbrella girl yang cantik sekali, tubuhnya sangat bersih dan terawat, dan memiliki rambut yang terurai indah. Aku pun sempat jatuh hati padanya. Namun akhirnya, aku urungkan niatku itu.
Dia sudah punya kekasih, ke ke ke.....
Official memberi isyarat untuk melakukan putaran warm up. Hasil QTT sehari sebelumnya menempatkanku di grid dua, sedangkan peraih pole position adalah Ferdinand Aid Apais. Pembalap yang satu ini memang selalu membayang-bayangiku, dan aku pun mulai kesal dibuatnya. Pembalap ini adalah penghalangku menjadi juara dunia. Ingin rasanya aku meledakkan motornya saat ini juga. Namun aku pendam rasa emosiku itu. Aku tidak mau melakukan kesalahan hanya karena emosiku sendiri. Mungkin lebih baik kalau aku menenangkan pikiran sambil memanaskan banku dalam sesi warm up.
Sesi warm up selesai. Petugas official mengangkat bendera merah tanda balapan sudah bisa dimulai. Ketika lampu merah start sudah padam, seluruh pembalap memindah gigi dan memacu gas motornya dalam-dalam. Aku pun mulai memelintir gas perlahan-lahan, karena semua pembalap jaraknya masih terlalu rapat. Lomba sepanjang 28 putaran akan menjadi penentuan, apakah aku menjadi juara atau pecundang. Aku mulai membuka jarak terhadap pembalap lain di belakangku. Aku masih berjarak sekitar tiga meter dengan Ferdinand Aid Apais yang masih memimpin jalannya lomba.
Lomba tersisa 21 putaran lagi. Beberapa pembalap mulai berjatuhan. Aku merasa kasihan kepada mereka, namun aku tidak mau kehilangan konsentrasi. Sambil memindah gigi dari gigi 5 ke gigi 3, aku terus menguntit Ferdinand Aid Apais sambil merebahkan motorku. Ketika aku sudah melahap tikungan, aku membetot gas dalam-dalam sambil memindah gigi keempat, lalu kelima, lalu keenam. Motorku melaju cepat, namun itu tidak cukup untuk menyalip Ferdinand Aid Apais. Aku malah dipaksa untuk terus menguntitnya terus.
Saus kacang merah, kacang tanah, kacang hijau, sama kacang atom, batinku dalam hati.
Lomba tersisa 13 putaran lagi, dan aku masih tertinggal 0,3 detik dari pembalap sialan yang ada di depanku. Padahal aku sudah membaca jalur balapnya, namun seakan dia tidak memiliki kelemahan sama sekali. Aku pun merasa bahwa ban yang kupakai masih memiliki grip yang memadai hingga garis akhir. Aku pun mulai merasa putus asa, putus harapan, namun tanpa putus cinta.
Aku melihat pit-board, dan lomba tersisa lima putaran lagi.
Hah!? Lima putaran lagi?!
Dunia ini memang sudah gila!
Di depanku ini pembalap, monster, alien, atau apa?
Aku sudah tidak bisa tenang-tenang saja kalau situasinya sudah begini. Untung aku melihat pit-board yang disodorkan oleh para kru timku. Jika tidak, bisa bahaya.
Aku memutuskan untuk menyalip lebih ekstrem, dengan risiko aku terjatuh dan melupakan cita-citaku untuk menjadi juara dunia Moto2. Namun aku berpikir, jika aku terus begini sama saja menyerahkan gelar juara itu secara cuma-cuma. Akhirnya kuputuskan untuk berusaha lebih keras lagi untuk menyalipnya, terlepas dari segala resikonya.
Peduli setan dengan jatuh. Setan pun tidak akan pernah peduli aku jatuh atau tidak, batinku.
Lomba sudah memasuki last-lap, dan kini aku hanya berjarak 0,1 detik dengan Fedinand Aid Apais. Tikungan terakhir menjad hal yang krusial bagiku. Motor kami mulai memasuki tikungan terakhir itu. Aku pun menyalipnya dari sisi dalam. Seperti dugaanku, motorku mulai oleng. Ditambah lagi, motorku sedikit bersenggolan dengan motor Ferdinand Aid Apais sialan itu. Ketika sudah melewati tikungan terakhir itu, aku memacu gas dalam-dalam sambil memindah gigi secara beruntun. Tidak disangka, dia juga berusaha menyalipku juga setelah tikungan penentuan itu. Motor kami melaju hampir bersamaan memasuki garis akhir.
Jantungku berdegup kencang lagi.
Napasku mulai tidak beraturan lagi.
Namun limpaku tetap baik-baik saja.
Aku pun menjadi galau, tapi bukan karena salah pilih operator. Wajar saja aku galau, karena kami belum mengetahui hasil data telemetrinya. Aku pun kembali ke ­pit-stop untuk beristirahat.
Belum sempat aku menarik napas, juri memutuskan bahwa akulah yang menyentuh garis akhir lebih dulu. Itu artinya, akulah juara seri terakhir kelas Moto2. Di saat yang bersamaan, poinku bertambah menjadi 350, sedangkan Ferdinand Aid Apais poinnya menjadi 349. Meskipun selisih satu poin, namun itu cukup untuk menjadikanku juara dunia Moto2.
Aku senang bukan kepalang. Bukan kepaling, apalagi kepalung. Akhirnya aku bisa membuktikan kepada keluargaku dan juga orang-orang yang meremehkanku bahwa aku ternyata bisa menjadi juara. Aku berterima kasih kepada seluruh pihak yang telah menjadikanku seperti ini.
Juara dunia. 

Selasa, 01 Mei 2012

Katak Merah dan Katak Biru




KATAK MERAH DAN KATAK BIRU


Suatu pagi yang cukup damai, hiduplah dua ekor katak yang sudah tidak punya ekor lagi. Mereka adalah katak berwarna merah bernama Jackson, dan katak berwarna biru yang bernama Johnny. Mereka adalah duo pengelana yang telah melakukan perjalanan kemana-mana. Kota yang pernah mereka kunjungi antara lain London, Paris, Manila, Madrid, hingga Sukabumi. Tujuan mereka bepergian ke tempat yang eksotis seperti itu hanya satu : wisata kuliner.
Suatu hari, Jackson menawarkan tempat tujuan mereka berikutnya kepada Johnny.
“John, gue punya usul bagus nih, buat kota yang bakal kita datengin selanjutnya!”
“Apa itu?”
“Gimana kalo besok lusa kita ke L.A?”
“L.A!? Los Angeles!?”
“Lenteng Agung! Ya ke Los Angeles lah. Gue denger-denger, di sana ada restoran baru yang lagi beken. Mau nggak luh??”
“Boleh aja, gue sih oke-oke aja. Tapi, ada duit nggak?”
“Ada deh pokoknya. Kita tinggal berangkat.”
“ Emang loe punya berapa?”
“Dua ratus ribu.”
“Eh buseet, cuma dua ratus ribu! Ntar loe mau makan apa di sono!? Makan nasi kucing!? Kalo loe mau makan nasi kucing, di Jogja mah juga banyak. Angkringannya bejibun tuh, tinggal pilih! Mau makan nasi kucing aja sampe ke Amerika segala. Norak luh!” Johnny sewot.
“Eh kodok, maksud gue tuh dua ratus ribu dolar. Bukan dua ratus ribu perak! Kalo orang ngomong biarin sampe abis dulu kenapa sih!”
“Jangan ngatain gue kodok dong, KODOK!”
“Loe kan katak, bukan kodok. Liat dong judul yang ditulis sama Deeto Kongo, yang nulis cerpen ini. Tulisannya katak, bukan kodok. Baca dong, pake mata!”
“Mata apaan??”
“Mata kaki! Lama-lama loe ngeselin juga yak! Gini aja deh, loe mau apa nggak!?”
“Ya udah, gue mau. Tapi loe aja yang nyiapin bekal sama bawaan yang kudu kita bawa yak?”
“Terus, loe mau kemana?”
“Biar gue beli dulu tiket pesawatnya. Tempatnya emang rada jauh, tapi cuman satu kali naik angkutan umum. Gimana?! Oke nggak??”
“Sip!”
Maka, berangkatlah mereka ke Los Angeles naik pesawat Amphibi Air, suatu armada penerbangan yang cukup terkenal di kalangan hewan amfibi seperti mereka berdua. Sepanjang perjalanan, mereka melakukan aktivitas layaknya katak sejati. Seperti main kartu UNO, makan keripik, minum soda berlabel Katak-Cola, sampai tidur dengan posisi kayang, semua mereka lakukan. Bahkan Johnny dengan isengnya menaruh cabai yang pedas di dalam roti isi pesanan Jackson tanpa sepengetahuannya, hingga Jackson pun harus bolak-balik ke toilet sampai delapan kali.
“Gila! Pedes banget nih roti! Sampe perut gue mules-mules begini! Padahal gue pesennya roti isi daging, bukan roti isi sambel.” Jackson kesal bukan main.
Tidak terasa, sampai juge mereka di Amerika. Negara yang dijuluki dengan sebutan Negeri Paman Sam itu memang menakjubkan. Begitu tiba di bandara, mereka berdua sampai mencium lantai bandara saking senangnya.
“I’m coming Amerika! I’m comiing!” teriak Jackson, seakan tidak menyadari belasan pasang mata menatap dirinya dengan tatapan heran yang menyiratkan bahwa mereka seperti hewan gila.
“Eh, norak luh. Nggak gitu-gitu amat kali senengnya. Kayak orang yang belom pernah ke Amerika aja.”
“Gimana gue nggak seneng, ini adalah pengalaman hidup gue yang paling berharga!” sahut Jackson dengan wajah berseri-seri.
“Nah, sekarang kan udah sampe nih. Loe bilang kan ada restoran yang katanya udah beken banget. Sekarang, kita langsung aja ke tempatnya.”
“Ya udah. Tuh, taksinya udah ada di depan. Kita pake taksi bandara aja.”
Mereka pun menuju ke Miami, kota dimana restoran yang dimaksud Jackson berada. Selama perjalanan, mereka berdua asyik berbincang-bincang dengan supir taksinya. Begitu banyak hal yang mereka bahas. Mulai dari tempat-tempat yang menarik di Miami, apa saja sarana hiburannya, tempat penginapan yang bagus, hingga kisah perjalanan hidup sang supir. Bahkan, mereka sempat menawarkan kepada supir untuk ikut mereka makan-makan di restoran yang akan mereka tuju.
Sesampainya di sana, mereka langsung turun dan tentu saja tidak lupa untuk membayar ongkos taksi yang tarifnya 2 dolar per dua hewan. Lalu mereka mencari restoran yang dimaksud oleh Jackson.
“Jack, emang di mana restoran yang loe maksud?”
“Harusnya di sekitar sini. Kemaren gue lihat di internet letaknya di Miami. Biar cepet, gimana kalo nanya aja?”
“Okelah kalo begitu.”
Mereka bertanya pada seekor katak Amerika yang berambut kuning, bermata biru, berkacamata merek Oakley, dan bercelana panjang.
“Excuse me Sir, can you tell me about something?”
“Of course.”
“Where is the Amphibi Restaurant?”
“Amphibi Restaurant!? Are you tourist in here?”
“Right, Sir. Why?”
“Poor you. The restaurant was closed yesterday, because the food-poison.”
“What!? Food-poison??”
“Yeah. My advise, don’t go to the restaurant.”
Seketika tangan, kaki, dan kepala Jackson bergetar hebat. Dia tidak percaya, bahwa restoran yang dia baca di internet ternyata makanannya beracun. Padahal di internet tertera bahwa makanannya memakai bumbu alami. Johnny yang merasa kasihan lalu mengajak menginap di penginapan terdekat untuk menenangkannya.
“Sabar ya, Jack. Anggap aja ini keberuntungan.”
“Maksud loe!?”
“Setidaknya, kita-kita nggak terlanjur keracunan duluan. Ya udah, sekarang kita istirahat dulu. Besok, kita sarapan aja di Mc Donald. Abis itu kita pulang. Oke!?”
“Ya udah deh, terserah loe aja.”
Akhirnya, mereka berdua menginap di penginapan Miamotel. Keesokan harinya, mereka menuju Mc Donald untuk sarapan. Setelah agak kekenyangan, mereka membeli tiket pesawat untuk pulang ke Jakarta. Mereka berangkat Selasa pagi, namun kali ini mereka menggunakan jasa penerbangan Salamander Attack.
Selama di pesawat, Jackson tampak muram. Dia tidak ceria seperti saat mereka berangkat ke Amerika. Belum pernah Jackson bermuram durja seperti ini. Terakhir kali dia bersedih, saat Jackson berumur 11 tahun. Saat itu, motor Ducati 848 Evo-nya dijual untuk modal usaha, dan dia langsung menangis sejadi-jadinya.
Sesampainya di rumah mereka, tepatnya di daerah Condet, Jackson langsung menuju kamarnya seraya berkata, “Jangan ganggu gue dulu John, gue lagi pengen sendiri.”
Johnny pun mengangguk, lalu masuk ke kamarnya sendiri. Dia merasa kasihan kepada adik satu-satunya itu. Dia pun akhirnya terlelap dalam tidurnya.

Selasa, 27 Maret 2012

Kejuaraan Balap Mobil Para Hantu


KEJUARAAN BALAP MOBIL PARA HANTU
(bagian 1)

Genderuboy tampak gelisah. Hari itu adalah awal musim kejuaraan balap mobil para hantu (Ghost Race World) tingkat dunia. Perlombaan yang dilaksanakan tujuh minggu lagi itu dimulai dari Spanyol, dan berakhir di Korea Selatan. Melintasi benua Eropa dan benua Asia, menghadapi tiga iklim yang berbeda, melewati kurang lebih 20.000 km dalam kondisi trek yang berbeda-beda. Memang, dia berencana merancang ulang mobil balap Grand Devil 5000-nya yang pernah dipakai balap tahun lalu bersama ayahnya. Namun, di perlombaan kali ini hanya lima etape untuk berhenti sambil memeriksa mobil, di mana setiap etape ditempuh dalam jarak 4.000 km tanpa berhenti. Artinya, dia tidak hanya dituntut untuk membuat mesin mobil balap yang sangat kencang saja, namun juga memiliki daya tahan yang tinggi terhadap iklim yang ekstrim dan jarak yang cukup jauh. Malam hari setelah makan malam, Genderuboy meminta bantuan kepada ayahnya, Genderuman.
“Ayah, kurang dari tujuh minggu lagi kejuaraan balap mobil. Tentu Ayah sudah tahu, bahwa peraturan perlombaannya sedikit lebih longgar. Tapi masalahnya, lintasan yang akan dilewati benar-benar luar biasa. Ada kemungkinan besar mesin jebol bila memakai setingan mesin yang sama seperti tahun lalu. Makanya, aku minta pertolongan Ayah untuk membantuku merancang ulang Grand Devil agar tidak hanya melaju lebih cepat dan bertenaga saja, namun juga tahan terhadap perubahan suhu yang ekstrim. Maukah Ayah membantuku?” harap Genderuboy.
“Baiklah Nak! Ayo kita buat Grand Devil menjadi lebih baik!” semangat ayahnya.
Maka, berjalanlah mereka berdua menuju garasi bengkel yang cukup besar. Ayahnya Genderuboy adalah pemilik tim Genderuwo Racing Team, dan juga pemilik Genderuwo Motors. Sebuah perusahaan independen yang memang fokus pada segala hal yang berbau balap. Termasuk riset mesin dan energi solar cell, energi alternatif yang mulai dipakai ajang balap mobil sejak 10 tahun yang lalu Energi yang dipakai untuk menggantikan bahan bakar minyak yang persediaannya mulai menipis. Begitu gerbang garasi dibuka, terparkir di sana mobil Grand Devil 5000 bernomor start 13. Mobil itu berwarna hitam kehijauan, dengan vinyl aksen goresan duri yang sangar. Di bagian belakang terdapat tiga muffler knalpot dengan bentuk moncong ular, serta stiker di bagian bemper bertuliskan “Where Champion Are Born.”
“Nak, ayo kita rancang ulang mobil ini bersama-sama. Ayah berharap kamu menjadi juara dalam balapan kali ini.” Kata ayahnya.
“Baik, Ayah. Terima kasih atas dukungannya.” Senang Genderuboy.
Mereka pun mulai merancang ulang dari bagian mesin terlebih dahulu. Untuk sumber tenaga, mereka menggunakan mesin GP 5000 2nd series yang diubah pada bagian sistem pemasukan energi solar cell. Bagian turbin menggunakan turbin buatan sendiri dari bahan titanium, dan mengganti jumlah transmisi dari asalnya berjumlah 5 buah menjadi 6 buah, ditambah tiga final gear untuk penggunaan nitro. Dipadukan generator Shuffle Speed buatan Jerman. Kopling pun menggunakan pelat kopling yang lebih tebal dan per kopling ditambah menjadi 6 buah. Isi tabung nitro dikurangi dari 3 liter per tabung menjadi 2 liter per tabung, namun jumlah tabung ditambah dari satu tabung menjadi dua tabung. Untuk velg menggunakan ukuran 15 inci buatan Enkei yang terbuat dari titanium, dipadukan dengan ban merek Road Demon tipe Hell Crusher. Agar lebih bertenaga, knalpot diganti baru, buatan RaiserFinger full karbon empat muffler. Dengan beberapa ubahan seperti itu, didapat hasil yang memuaskan saat diuji di mesin dynotest. Hasilnya adalah tenaga maksimal yang didapat mencapai 1.390 daya kuda, mampu melesat hingga 994 km/jam, dengan akselerasi 0 – 200 mencapai 1,9 detik hanya dengan gigi pertama.
Berlanjut ke bagian rangka dan bodi mobil. Untuk rangka, mereka menggunakan rangka titanium dengan tipe rangka aerodynamic phantom khas Genderuwo Motors. Mereka memilih tipe ini karena rangka ini menawarkan tingkat aerodinamika yang mengagumkan, dan kemampuan menikung yang lebih baik, serta lebih lentur. Dan juga bodi mobil yang terbuat dari titanium, memberikan keringanan namun tetap kuat. Warna mobil diubah dari hijau menjadi black doff, dengan airbrush nomor start Genderuboy 13 dan juga namanya sendiri. Tidak lupa, sistem suspensi diganti dengan buatan Ohlins full elektronis.
Akhirnya mereka bernapas lega, dengan semua yang telah mereka kerjakan selama ini. Ternyata mereka menghabiskan waktu 41 hari untuk merancang ulang mobil itu. Dengan ini, mereka hanya memiliki waktu delapan hari sebelum kejuaraan balap mobil itu dimulai. Ayah Genderuboy memberikan pesan kepadanya.
“Anakku, ingatlah hal ini. Mobil ini dirancang agar mesinnya tidak mudah mati, kecuali bila solar cell mobilmu sudah habis. Tetapi, bila mengalami kecelakaan atau benturan hebat yang menyebabkan mesin mobilmu mati, janganlah panik dulu. Ayah sudah memasang starter cadangan untuk mengantisipasi hal tersebut. Untuk mengaktifkannya, netralkan posisi gear lebih dulu, lalu injak kopling. Masukkan gigi empat, hidupkan mesin. Di saat yang sama, lepas pedal kopling dan injak pedal gas. Dengan begitu, mobilmu bisa menyala lagi. Paham?”
“Paham Ayah, aku akan mengingatnya,” janji Genderuboy.
Setelah mereka berbincang-bincang, mereka pergi beristirahat malam hari. Genderuboy tidak sabar untuk menunggu balapan yang diadakan minggu depan. Sebelum tidur, dia melihat poster Rickyruwo, pembalap idolanya yang telah memenangi kejuaraan balap G1 (Ghost 1) 11 kali berturut-turut.
“Aku akan menjadi juara sepertimu. Dan itu akan kubuktikan seminggu lagi,” batinnya.
Lalu Genderuboy pun tertidur pulas, melepas lelah sehabis merancang mobil balapnya. Dia tidak sabar menanti balapan minggu depan.

Selasa, 20 Maret 2012

Mimpi Buruk Anton


Anton tetap nekat pergi ke desa itu, meski pun sudah diperingatkan salah seorang penduduk desa di mana Anton sempat singgah untuk istirahat. Desa Sunyi, itulah yang selalu dibicarakan orang karena kesunyiannya. Konon, pernah ada seorang penduduk yang pergi ke sana untuk menyelidiki secara pasti apa yang sebenarnya ada di desa yang tidak berpenghuni itu. Ternyata setelah ditunggu berbulan-bulan, ia tidak juga kembali. Seakan-akan hilang ditelan bumi, seperti judul lagu grup band Andra and The Backbone. Hal inilah yang membuat Anton penasaran seperti arwah, apakah desa itu benar-benar tidak berpenghuni atau tidak.
“Nak Anton, sebaiknya jangan pergi ke sana. Di sana sangat berbahaya. Semua penduduk di sini tidak ada yang mau pergi ke desa itu, karena mereka tahu apa akibatnya,” nasihat seorang pria paruh baya yang setelah ditelusuri di internet akhirnya diketahui bahwa namanya adalah pak Slamet, yang tidak lain adalah sesepuh Desa Mabi.
“Aku tidak bisa diam saja, Pak. Aku harus pergi ke desa itu. Aku akan mencari tahu penyebab desa itu begitu sunyi,” ujar Anton.
“Baiklah, bapak tidak bisa melarangmu. Bapak hanya bisa memberi tahu. Tapi ingatlah, ada kemungkinan bahaya akan mengintaimu di sana. Untuk itu, bapak harus memberimu ini,” Pak Slamet berkata begitu sambil menyerahkan sebilah pedang dengan gagang yang terbuat dari silikon, dan mata pedangnya terbuat dari titanium.
Anton menerima pemberian Pak Slamet itu, seraya berkata, “Terima kasih Pak, semoga amal ibadah Pak Slamet diterima di sisi Tuhan.”
“Sama-sama Nak. Hati-hati ya,” pesan Pak Slamet
Maka pergilah Anton menuju desa itu. Sepanjang perjalanan Anton, pak Slamet mengamati anak muda itu sembari berpikir tentang apa yang telah dikatakan Anton tadi. Seperti ucapan seseorang yang masih hidup terhadap orang yang sudah meninggal. “Memangnya saya sudah meninggal dunia,” pikirnya. Tapi, di dalam lubuk hati yang paling dalam milik pak Slamet, sebenarnya beliau berharap pada anak muda itu untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di desa itu.
Dalam perjalanannya menuju desa sunyi, Anton menjumpai banyak hal-hal aneh. Mulai dari pohon yang bisa bicara dalam bahasa Inggris, Jepang, Korea, Republik Ceko, Melayu, Jerman, Spanyol, Perancis, dan juga Arab Condet, burung merpati yang bisa berkicau dengan berbagai aliran musik modern, seperti hard rock, pop, jazz, deathcore, metal, hip-hop, blues, rock alternative, bahkan dangdut, babi hutan yang bersuara seperti motor Harley-Davidson keluaran terbaru, sampai dengan kura-kura yang bisa berjalan sangat cepat, dengan kecepatan yang ditaksir Anton mencapai 937 km/jam. Anton pun merasa kaget sekaligus heran, hewan macam apa yang bisa punya karakter seperti itu. Karakter yang bahkan di luar nalar pasien rumah sakit jiwa, mungkin juga di luar nalar dokter yang merawat pasien rumah sakit tersebut.
Akhirnya, sampai juga Anton di desa itu. Ketika Anton melangkahkan kakinya satu langkah, aura yang menakutkan langsung Anton rasakan. Bulu kuduk, bulu kaki, bahkan bulu hidungnya sampai merinding begitu merasakan aura yang begitu hebat dan menyeramkan.
Berjalanlah Anton memasuki desa itu. Mata Anton mengawasi sekeliling desa itu selama 24 jam seperti minimarket. Saat Anton menggaruk kepalanya yang gatal karena lupa keramas, suara yang menakutkan berkarakter bariton menggema dengan keras.
“Siapa yang berani datang ke desa ini?” ujar suara itu dengan karakter suara bas, bariton, dan tenor yang keras.
Tentu saja Anton kaget bercampur heran (lagi). Bagaimana bisa ada suara begitu keras dan menyeramkan seperti itu di desa yang katanya tidak berpenghuni itu. Ketika Anton mencari-cari asal suara itu, tiba-tiba muncul sosok besar yang muncul di belakangnya. Sosok yang berwajah sangat seram. Tubuhnya berbalut kain hitam lusuh dengan motif bunga-bunga, lengkap dengan writsband berlabel Nike. Warna matanya merah tomat, gigi taringnya agak panjang. Melihat dari raut wajahnya, jelas terlihat bahwa dia amat sangat marah sekali.
“Berani sekali kamu datang kemari, anak manusia! Karena kamu telah lancang sekali datang kesini tanpa izin, maka aku akan membunuhmu!”
“Tidak jika aku membunuhmu lebih dulu.”
Maka terjadilah pertempuran antara monster yang belakangan diketahui melalui Wikipedia namanya adalah Genderuwo Hijau, dengan Anton yang bersenjatakan pedang pemberian pak Slamet. Berkali-kali Anton menghindar dari serangan yang dilancarkan oleh Genderuwo Hijau, namun monster itu sangat sakti. Dengan gaya bertarung seperti aktor laga kawakan George Rudy, Anton melawan makhluk itu hand-to-hand combat. Namun hasilnya, Anton malah menerima beberapa luka, kecuali luka di hati yang biasa dialami oleh anak muda jaman sekarang yang sedang galau karena ditinggal pacarnya. Anton mencoba melayangkan pedang pemberian pak Slamet itu, namun gagal juga. Ketika Anton berusaha menebas monster itu dengan jurus Seribu Pedang Tuhan yang Menghukum Iblis dengan pedangnya, monster itu berhasil menghindar. Lalu monster itu melempar kayu Sengon kepada Anton, dan kayu yang beratnya tidak diketahui secara pasti itu mengenai tubuh Anton. Anton pun jatuh njlungup (silahkan cari artinya di internet), dan mengaduh kesakitan. Saat Anton meringis atas penderitaan yang dialaminya, tiba-tiba terdengar suara yang sangat dikenalnya. Suara yang mengingatkan dirinya akan ibu kandungnya. Suara itu memanggil-manggil dirinya berulang-ulang.
“Anton, Anton, Antooonn.....”
Sesaat setelah suara itu terdengar, tiba-tiba......
“Byuuurr......”
“Huuuaaaaa......”
Kontan saja Anton terbangun dari tidurnya. Ternyata dia bermimpi! Suara yang baru saja dia dengar dalam mimpinya benar-benar suara ibunya sendiri. Anton melihat ibunya memelototi dirinya sambil menenteng ember berdiameter 25 cm yang digunakan untuk mengguyur Anton.
“Anton! Jam segini masih tidur aja! Kenapa waktu tidur kamu berkelakuan seperti orang idiot! Kamu mimpi buruk ya!? Lihat tuh, kamar kamu berantakan sekali! Cepat bereskan!”
Anton langsung melihat sekelilingnya, dan terkejut akan kondisi kamarnya. Benar-benar seperti kapal pecah! Atau mungkin kapal pecahnya yang seperti kamarnya. Anton masih linglung dengan dirinya. Mimpinya semalam terasa seperti nyata. Pertempuran yang baru saja dilakoninya di dunia mimpi ternyata berakibat buruk pada kamarnya. Dia tidak menyangka akan berakibat buruk terhadap kondisi kamarnya. Mulai dari meja belajarnya yang rusak parah, lemari buku yang isinya berantakan, sampai jam dinding yang jarum jamnya berubah menjadi jarum jahit.
Anton sadar, dia tidak berdo’a terlebih dulu sebelum tidur. Karena dia langsung merebahkan dirinya di atas kasur setelah latihan futsal bersama teman-temannya sore tadi. Dalam pertandingan yang berlangsung selama 2 x 20 menit itu, tim Anton menang 37 - 0.
Ingatlah wahai manusia, biasakan untuk berdo’a sebelum tidur. Agar kita senantiasa berada dalam lindungan-Nya.
Ke ke ke ke ke......