Jumat, 16 November 2012

Bejo Si Beo Hijau Jenius


BEJO SI BEO HIJAU JENIUS 
Deeto Kongo 

Pada zaman dahulu kala, hiduplah seekor burung beo hijau bernama Bejo. Ia tinggal di hutan meranti, sehingga dia tidak terlalu khawatir akan tidak memiliki rumah. Beo tinggal sendirian. Ia tinggal di pohon meranti yang paling besar di hutan itu. Semenjak ibu dan ayahnya meninggal dua tahun lalu akibat ditembak pemburu liar, dia menjadi yatim-piatu. Sungguh kasihan dia. Untungnya, dia sudah cukup dewasa untuk mencari makan sendiri. Makanannya biji-bijian, namun dia lebih suka burger keju buatan sendiri.
Pada suatu pagi yang sejuk, Bejo jalan-jalan dengan sepedanya yang dibeli oleh ayahnya. Ketik melewati pinggiran hutan, tanpa sengaja Bejo menemukan beberapa orang asing yang belum pernah dikenalnya. Dia pun mendekati mereka dengan diam-diam, karena takut ketahuan. Karena percakapan di antara mereka terlihat mencurigakan, Bejo pun berusaha mencuri-curi dengar apa yang mereka katakan.
“Pokoknya, kita harus tebangin seluruh pohon yang ada di hutan ini! Dengan begitu, kita akan dapet duit dari hasil penjualan itu kayu. Katanya, harga kayu meranti lagi naik sekarang. Oke!?” kata seorang penebang berambut cepak.
“Ya udah, sekarang aja kita tebang. Biar cepet kelarnya,” tukas penebang pohon yang lain. Penebang yang satu ini berambut agak gondrong dan memiliki tato ikan bandeng presto.
“Dasar idiot! Sekarang kan kita nggak bawa alat-alatnya! Gimana sih loe, gitu aja nggak ngerti!” omel penebang yang jauh lebih galak menurut Bejo. Tampangnya sangar, kumisnya tebal seperti iklan produk wafer di televisi. Berapa lapis?? Ratuuusaan!
“Begini, jadi kita bakal tebangin seluruh isi hutan ini. Dan pastiin bawa semua alat-alat yang kita punya. Oke!?” seru penebang cepak.
“Oke!” seru penebang yang lain.
Mendengar rencana yang menurutnya tidak baik itu, Bejo langsung keringat panas-dingin. Mengapa panas-dingin? Karena menurutnya, keringat dingin itu sudah biasa. Dia ingin keringatnya terkesan eksklusif, berbeda dengan yang lain. Daripada biang keringat, nanti menderita gatal-gatal. Bejo yang hanya mengandalkan paruhnya untuk menggaruk dirinya bila sedang gatal-gatal, akan lebih sengsara lagi hanya karena gatal-gatal.
Setelah membahas soal keringat panas-dingin dan gatal-gatal, Bejo langsung pulang ke rumahnya. Sorenya, dia mengumpulkan teman-temannya dari segala jenis hewan. Dari yang besar sampai yang kecil, dia panggil semuanya untuk diajak rapat soal rencana tidak baik tadi pagi dia dengar. Rapat ini dimaksudkan untuk membahas apa yang harus dilakukan agar seluruh penebang liar itu tidak jadi menebang hutan.
“Teman-teman, kita kudu cegah itu penebang-penebang sialan supaya mereka nggak nebagng hutan kita seenak perutnya aja kayak gitu. Ada yang punya usul?”
“Bagaimana kalo kita langsung serang aja? Biar rusuh,” ujar Kampu si kambing putih.
“Jangan! Kita harus berpikir dulu sebelum bertindak. Ntar kalo salah, malah kita yang ko’it,” tukas Rume. Rume adalah rubah merah yang panjang ekornya hampir sama dengan panjang tubuhnya.
“Begini aja, sambung si Bejo. “Malam ini, kita pake jebakan yang rada kejam. Yang penting, ada efek jera dulu. Begitu udah pada ketakutan, kita semua langsung serbu itu penebang sialan. Kita keroyok mereka, kan jumlah kita jauh lebih banyak tuh. Yang penting, mereka kita usir dari hutan ini. Bagaimana? Loe-loe pada semua setuju kagak?”
“Setujuu......”
Maka, malam itu semua hewan yang ada di segala penjuru hutan membuat berbagai macam jebakan. Mulai dari lubang berisi lumpur yang ditutupi tumpukan rumput, jeratan akar pohon, hingga batang pohon meranti yang diikat dengan dua utas tali. Tidak lupa, mereka semua dilengkapi dengan beberapa butir kelapa untuk menghalau penebang itu di saat-saat terakhir. Keesokan harinya, para penebang yang memang berniat untuk membabat habis seluruh pohon meranti yang ada di hutan itu. Mereka membawa alat-alat untuk menebang, topi kuning, dan dua termos berisi air panas serta beberapa bungkus kopi. Dan juga, beberapa nasi bungkus untuk makan siang. Setelah mereka semua siap untuk menebang, mereka langsung masuk hutan setelah sebelumnya membaca basmalah. (ah, penebang liar saja masih sempat-sempatnya baca basmalah!)
Begitu penebang yang berambut cepak baru memasuki hutan beberapa langkah, tiba-tiba dia terperosok ke dalam jebakan lubang berisi lumpur yang ditutupi rumput sehingga tidak terlihat.
“Gusraaakk!”
“Anjrit! Siapa nih yang bikin jebakan kayak gini!? Mau cari mati tuh orang! Belom tau siapa gue kali!” si penebang cepak misuh-misuh.
“Makanya, jalan tuh pake mata. Dasar bego!” omel teman sesama penebang liarnya yang berkumis tebal.
“Jalan mah pake kaki, tolol!” sungut penebang yang berambut gondrong.
Tidak lama kemudian, penebang berkumis tebal terkena jebakan lain. Dia kakinya tersangkut jerat akar pohon. Alhasi, dia jatuh terjerembab. Parahnya, mukanya tepat mendarat di atas kotoran kerbau.
“Kurang ajar! Muka gue kena kotoran kerbau! Kegantengan gue jadi ilang deh!” dia mengutuk dirinya sendiri.
“Mampus luh! Makan tuh kotoran kerbau! Ha ha ha ha......”
Berikutnya, giliran penebang liar yang berambut gondrong yang terkena imbasnya. Kali ini dia terhantam kayu meranti yang diikat pada dua utas tali. Jebakan ini spesial buatan Bejo sendiri. Hasilnya, penebang itu jatuh tersungkur.
“Gedebuk, Gubraak!”
“Aduuh, Sialan! Gue kena cium kayu meranti! Mana gede banget kayunya!”
Sayangnya, mereka tetap saja berusaha masuk ke dalam hutan itu lebih dalam lagi. Saat itulah, Bejo memberi aba-aba untuk menyerang bersama-sama. Para penebang itu tentu saja kalang kabut, begitu mengetahui bahwa mereka bertiga diserang puluhan hewan dari berbagai jenis dan ukuran. Mereka pun lari terbirit-birit keluar dari hutan itu.
Seluruh hewan yang ada bersorak gembira merayakan keberhasilan mereka dalam mengusir para penebang liar itu. Pujian datang kepada Bejo sebagai pemberi informasi. Karena tanpa dia, mungkin mereka akan kehilangan tempat tinggal mereka satu-satunya akibat niat jahat para penebang liar itu. 

Uka Apais Kongo


UKA APAIS KONGO 
Deeto Kongo


Aku Uka Apais Kongo, dari negara yang katanya bernama Indonesia. Aku adalah pembalap kelas Moto2 dari tim Kongo-Green Tea Racing Team, berumur 20 tahun, berambut ikal tidak karuan, dan belum punya kekasih. Hari ini adalah balapan yang menentukan statusku sebagai pembalap papan atas.
Bukan papan tulis, apalagi papan catur.
Seri terakhir balap yang akan kujalani ini berlangsung di sirkuit Ricardo Tormo, Valencia. Aku berada di peringkat dua klasemen sementara dengan poin 325, di bawah Ferdinand Aid Apais yang menduduki peringkat atas klasemen sementara dengan poin 329.
Sejak kecil, aku sudah mengikuti beberapa kejuaraan balap motor. Mulai kejuaraan pocket bike, hingga kejuaraan balap motocross. Aku memang bercita-cita menjadi seorang pembalap. Pembalap yang namanya akan dikenang oleh seluruh dunia.
Dunia manusia.
Bukan dunia binatang.
Apalagi dunia lain.
Hiiyyy, sereeem.....
Kata orang, menjadi pembalap itu risikonya besar. Bayangkan bila kau terjatuh dari motormu dalam kecepatan minimal 100 km/jam. Belum lagi dampak dari jatuhmu itu. Kau bisa saja patah tulang, patah rusuk, patah tangan dan patah leher. Tapi aku tetap bersikukuh ingin menjadi pembalap. Alasanku, hanya patah hati saja yang belum ada obatnya.
Jantungku berdegup kencang.
Napasku menjadi tidak teratur.
Untung limpaku baik-baik saja.
Aku sudah berada di atas pacuan. Motor prototype bermesin 1.000cc, dua aliran cairan pendingin, enam percepatan, pelek KongoRimz, peredam kejut KongoSorber, ban depan tipe medium dan ban belakang tipe hard, dipadu dengan sasis KongoChas serta didukung KongoLube untuk pelumasan. Tidak lupa, helm KNG dan baju balap Kongostars sebagai pengaman diriku dalam balap. Aku dipayungi oleh umbrella girl yang cantik sekali, tubuhnya sangat bersih dan terawat, dan memiliki rambut yang terurai indah. Aku pun sempat jatuh hati padanya. Namun akhirnya, aku urungkan niatku itu.
Dia sudah punya kekasih, ke ke ke.....
Official memberi isyarat untuk melakukan putaran warm up. Hasil QTT sehari sebelumnya menempatkanku di grid dua, sedangkan peraih pole position adalah Ferdinand Aid Apais. Pembalap yang satu ini memang selalu membayang-bayangiku, dan aku pun mulai kesal dibuatnya. Pembalap ini adalah penghalangku menjadi juara dunia. Ingin rasanya aku meledakkan motornya saat ini juga. Namun aku pendam rasa emosiku itu. Aku tidak mau melakukan kesalahan hanya karena emosiku sendiri. Mungkin lebih baik kalau aku menenangkan pikiran sambil memanaskan banku dalam sesi warm up.
Sesi warm up selesai. Petugas official mengangkat bendera merah tanda balapan sudah bisa dimulai. Ketika lampu merah start sudah padam, seluruh pembalap memindah gigi dan memacu gas motornya dalam-dalam. Aku pun mulai memelintir gas perlahan-lahan, karena semua pembalap jaraknya masih terlalu rapat. Lomba sepanjang 28 putaran akan menjadi penentuan, apakah aku menjadi juara atau pecundang. Aku mulai membuka jarak terhadap pembalap lain di belakangku. Aku masih berjarak sekitar tiga meter dengan Ferdinand Aid Apais yang masih memimpin jalannya lomba.
Lomba tersisa 21 putaran lagi. Beberapa pembalap mulai berjatuhan. Aku merasa kasihan kepada mereka, namun aku tidak mau kehilangan konsentrasi. Sambil memindah gigi dari gigi 5 ke gigi 3, aku terus menguntit Ferdinand Aid Apais sambil merebahkan motorku. Ketika aku sudah melahap tikungan, aku membetot gas dalam-dalam sambil memindah gigi keempat, lalu kelima, lalu keenam. Motorku melaju cepat, namun itu tidak cukup untuk menyalip Ferdinand Aid Apais. Aku malah dipaksa untuk terus menguntitnya terus.
Saus kacang merah, kacang tanah, kacang hijau, sama kacang atom, batinku dalam hati.
Lomba tersisa 13 putaran lagi, dan aku masih tertinggal 0,3 detik dari pembalap sialan yang ada di depanku. Padahal aku sudah membaca jalur balapnya, namun seakan dia tidak memiliki kelemahan sama sekali. Aku pun merasa bahwa ban yang kupakai masih memiliki grip yang memadai hingga garis akhir. Aku pun mulai merasa putus asa, putus harapan, namun tanpa putus cinta.
Aku melihat pit-board, dan lomba tersisa lima putaran lagi.
Hah!? Lima putaran lagi?!
Dunia ini memang sudah gila!
Di depanku ini pembalap, monster, alien, atau apa?
Aku sudah tidak bisa tenang-tenang saja kalau situasinya sudah begini. Untung aku melihat pit-board yang disodorkan oleh para kru timku. Jika tidak, bisa bahaya.
Aku memutuskan untuk menyalip lebih ekstrem, dengan risiko aku terjatuh dan melupakan cita-citaku untuk menjadi juara dunia Moto2. Namun aku berpikir, jika aku terus begini sama saja menyerahkan gelar juara itu secara cuma-cuma. Akhirnya kuputuskan untuk berusaha lebih keras lagi untuk menyalipnya, terlepas dari segala resikonya.
Peduli setan dengan jatuh. Setan pun tidak akan pernah peduli aku jatuh atau tidak, batinku.
Lomba sudah memasuki last-lap, dan kini aku hanya berjarak 0,1 detik dengan Fedinand Aid Apais. Tikungan terakhir menjad hal yang krusial bagiku. Motor kami mulai memasuki tikungan terakhir itu. Aku pun menyalipnya dari sisi dalam. Seperti dugaanku, motorku mulai oleng. Ditambah lagi, motorku sedikit bersenggolan dengan motor Ferdinand Aid Apais sialan itu. Ketika sudah melewati tikungan terakhir itu, aku memacu gas dalam-dalam sambil memindah gigi secara beruntun. Tidak disangka, dia juga berusaha menyalipku juga setelah tikungan penentuan itu. Motor kami melaju hampir bersamaan memasuki garis akhir.
Jantungku berdegup kencang lagi.
Napasku mulai tidak beraturan lagi.
Namun limpaku tetap baik-baik saja.
Aku pun menjadi galau, tapi bukan karena salah pilih operator. Wajar saja aku galau, karena kami belum mengetahui hasil data telemetrinya. Aku pun kembali ke ­pit-stop untuk beristirahat.
Belum sempat aku menarik napas, juri memutuskan bahwa akulah yang menyentuh garis akhir lebih dulu. Itu artinya, akulah juara seri terakhir kelas Moto2. Di saat yang bersamaan, poinku bertambah menjadi 350, sedangkan Ferdinand Aid Apais poinnya menjadi 349. Meskipun selisih satu poin, namun itu cukup untuk menjadikanku juara dunia Moto2.
Aku senang bukan kepalang. Bukan kepaling, apalagi kepalung. Akhirnya aku bisa membuktikan kepada keluargaku dan juga orang-orang yang meremehkanku bahwa aku ternyata bisa menjadi juara. Aku berterima kasih kepada seluruh pihak yang telah menjadikanku seperti ini.
Juara dunia.