UKA
APAIS KONGO
Deeto
Kongo
Aku
Uka Apais Kongo, dari negara yang katanya bernama Indonesia. Aku adalah
pembalap kelas Moto2 dari tim Kongo-Green Tea Racing Team, berumur 20 tahun,
berambut ikal tidak karuan, dan belum punya kekasih. Hari ini adalah balapan
yang menentukan statusku sebagai pembalap papan atas.
Bukan
papan tulis, apalagi papan catur.
Seri
terakhir balap yang akan kujalani ini berlangsung di sirkuit Ricardo Tormo,
Valencia. Aku berada di peringkat dua klasemen sementara dengan poin 325, di
bawah Ferdinand Aid Apais yang menduduki peringkat atas klasemen sementara
dengan poin 329.
Sejak
kecil, aku sudah mengikuti beberapa kejuaraan balap motor. Mulai kejuaraan pocket bike, hingga kejuaraan balap motocross. Aku memang bercita-cita
menjadi seorang pembalap. Pembalap yang namanya akan dikenang oleh seluruh
dunia.
Dunia
manusia.
Bukan
dunia binatang.
Apalagi
dunia lain.
Hiiyyy,
sereeem.....
Kata
orang, menjadi pembalap itu risikonya besar. Bayangkan bila kau terjatuh dari
motormu dalam kecepatan minimal 100 km/jam. Belum lagi dampak dari jatuhmu itu.
Kau bisa saja patah tulang, patah rusuk, patah tangan dan patah leher. Tapi aku
tetap bersikukuh ingin menjadi pembalap. Alasanku, hanya patah hati saja yang
belum ada obatnya.
Jantungku
berdegup kencang.
Napasku
menjadi tidak teratur.
Untung
limpaku baik-baik saja.
Aku
sudah berada di atas pacuan. Motor prototype
bermesin 1.000cc, dua aliran cairan pendingin, enam percepatan, pelek KongoRimz,
peredam kejut KongoSorber, ban depan tipe medium
dan ban belakang tipe hard,
dipadu dengan sasis KongoChas serta didukung KongoLube untuk pelumasan. Tidak
lupa, helm KNG dan baju balap Kongostars sebagai pengaman diriku dalam balap.
Aku dipayungi oleh umbrella girl yang
cantik sekali, tubuhnya sangat bersih dan terawat, dan memiliki rambut yang
terurai indah. Aku pun sempat jatuh hati padanya. Namun akhirnya, aku urungkan
niatku itu.
Dia
sudah punya kekasih, ke ke ke.....
Official memberi
isyarat untuk melakukan putaran warm up.
Hasil QTT sehari sebelumnya menempatkanku di grid dua, sedangkan peraih pole
position adalah Ferdinand Aid Apais. Pembalap yang satu ini memang selalu
membayang-bayangiku, dan aku pun mulai kesal dibuatnya. Pembalap ini adalah
penghalangku menjadi juara dunia. Ingin rasanya aku meledakkan motornya saat
ini juga. Namun aku pendam rasa emosiku itu. Aku tidak mau melakukan kesalahan
hanya karena emosiku sendiri. Mungkin lebih baik kalau aku menenangkan pikiran
sambil memanaskan banku dalam sesi warm
up.
Sesi
warm up selesai. Petugas official mengangkat bendera merah tanda
balapan sudah bisa dimulai. Ketika lampu merah start sudah padam, seluruh pembalap memindah gigi dan memacu gas
motornya dalam-dalam. Aku pun mulai memelintir gas perlahan-lahan, karena semua
pembalap jaraknya masih terlalu rapat. Lomba sepanjang 28 putaran akan menjadi
penentuan, apakah aku menjadi juara atau pecundang. Aku mulai membuka jarak
terhadap pembalap lain di belakangku. Aku masih berjarak sekitar tiga meter
dengan Ferdinand Aid Apais yang masih memimpin jalannya lomba.
Lomba
tersisa 21 putaran lagi. Beberapa pembalap mulai berjatuhan. Aku merasa kasihan
kepada mereka, namun aku tidak mau kehilangan konsentrasi. Sambil memindah gigi
dari gigi 5 ke gigi 3, aku terus menguntit Ferdinand Aid Apais sambil
merebahkan motorku. Ketika aku sudah melahap tikungan, aku membetot gas
dalam-dalam sambil memindah gigi keempat, lalu kelima, lalu keenam. Motorku
melaju cepat, namun itu tidak cukup untuk menyalip Ferdinand Aid Apais. Aku
malah dipaksa untuk terus menguntitnya terus.
Saus
kacang merah, kacang tanah, kacang hijau, sama kacang atom, batinku dalam hati.
Lomba
tersisa 13 putaran lagi, dan aku masih tertinggal 0,3 detik dari pembalap
sialan yang ada di depanku. Padahal aku sudah membaca jalur balapnya, namun seakan
dia tidak memiliki kelemahan sama sekali. Aku pun merasa bahwa ban yang kupakai
masih memiliki grip yang memadai
hingga garis akhir. Aku pun mulai merasa putus asa, putus harapan, namun tanpa
putus cinta.
Aku
melihat pit-board, dan lomba tersisa
lima putaran lagi.
Hah!?
Lima putaran lagi?!
Dunia
ini memang sudah gila!
Di
depanku ini pembalap, monster, alien, atau apa?
Aku
sudah tidak bisa tenang-tenang saja kalau situasinya sudah begini. Untung aku
melihat pit-board yang disodorkan
oleh para kru timku. Jika tidak, bisa bahaya.
Aku
memutuskan untuk menyalip lebih ekstrem, dengan risiko aku terjatuh dan
melupakan cita-citaku untuk menjadi juara dunia Moto2. Namun aku berpikir, jika
aku terus begini sama saja menyerahkan gelar juara itu secara cuma-cuma.
Akhirnya kuputuskan untuk berusaha lebih keras lagi untuk menyalipnya, terlepas
dari segala resikonya.
Peduli
setan dengan jatuh. Setan pun tidak akan pernah peduli aku jatuh atau tidak,
batinku.
Lomba
sudah memasuki last-lap, dan kini aku
hanya berjarak 0,1 detik dengan Fedinand Aid Apais. Tikungan terakhir menjad
hal yang krusial bagiku. Motor kami mulai memasuki tikungan terakhir itu. Aku
pun menyalipnya dari sisi dalam. Seperti dugaanku, motorku mulai oleng.
Ditambah lagi, motorku sedikit bersenggolan dengan motor Ferdinand Aid Apais
sialan itu. Ketika sudah melewati tikungan terakhir itu, aku memacu gas
dalam-dalam sambil memindah gigi secara beruntun. Tidak disangka, dia juga
berusaha menyalipku juga setelah tikungan penentuan itu. Motor kami melaju
hampir bersamaan memasuki garis akhir.
Jantungku
berdegup kencang lagi.
Napasku
mulai tidak beraturan lagi.
Namun
limpaku tetap baik-baik saja.
Aku
pun menjadi galau, tapi bukan karena salah pilih operator. Wajar saja aku
galau, karena kami belum mengetahui hasil data telemetrinya. Aku pun kembali ke
pit-stop untuk beristirahat.
Belum
sempat aku menarik napas, juri memutuskan bahwa akulah yang menyentuh garis
akhir lebih dulu. Itu artinya, akulah juara seri terakhir kelas Moto2. Di saat
yang bersamaan, poinku bertambah menjadi 350, sedangkan Ferdinand Aid Apais
poinnya menjadi 349. Meskipun selisih satu poin, namun itu cukup untuk
menjadikanku juara dunia Moto2.
Aku
senang bukan kepalang. Bukan kepaling, apalagi kepalung. Akhirnya aku bisa
membuktikan kepada keluargaku dan juga orang-orang yang meremehkanku bahwa aku
ternyata bisa menjadi juara. Aku berterima kasih kepada seluruh pihak yang
telah menjadikanku seperti ini.
Juara
dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar