Jumat, 16 November 2012

Uka Apais Kongo


UKA APAIS KONGO 
Deeto Kongo


Aku Uka Apais Kongo, dari negara yang katanya bernama Indonesia. Aku adalah pembalap kelas Moto2 dari tim Kongo-Green Tea Racing Team, berumur 20 tahun, berambut ikal tidak karuan, dan belum punya kekasih. Hari ini adalah balapan yang menentukan statusku sebagai pembalap papan atas.
Bukan papan tulis, apalagi papan catur.
Seri terakhir balap yang akan kujalani ini berlangsung di sirkuit Ricardo Tormo, Valencia. Aku berada di peringkat dua klasemen sementara dengan poin 325, di bawah Ferdinand Aid Apais yang menduduki peringkat atas klasemen sementara dengan poin 329.
Sejak kecil, aku sudah mengikuti beberapa kejuaraan balap motor. Mulai kejuaraan pocket bike, hingga kejuaraan balap motocross. Aku memang bercita-cita menjadi seorang pembalap. Pembalap yang namanya akan dikenang oleh seluruh dunia.
Dunia manusia.
Bukan dunia binatang.
Apalagi dunia lain.
Hiiyyy, sereeem.....
Kata orang, menjadi pembalap itu risikonya besar. Bayangkan bila kau terjatuh dari motormu dalam kecepatan minimal 100 km/jam. Belum lagi dampak dari jatuhmu itu. Kau bisa saja patah tulang, patah rusuk, patah tangan dan patah leher. Tapi aku tetap bersikukuh ingin menjadi pembalap. Alasanku, hanya patah hati saja yang belum ada obatnya.
Jantungku berdegup kencang.
Napasku menjadi tidak teratur.
Untung limpaku baik-baik saja.
Aku sudah berada di atas pacuan. Motor prototype bermesin 1.000cc, dua aliran cairan pendingin, enam percepatan, pelek KongoRimz, peredam kejut KongoSorber, ban depan tipe medium dan ban belakang tipe hard, dipadu dengan sasis KongoChas serta didukung KongoLube untuk pelumasan. Tidak lupa, helm KNG dan baju balap Kongostars sebagai pengaman diriku dalam balap. Aku dipayungi oleh umbrella girl yang cantik sekali, tubuhnya sangat bersih dan terawat, dan memiliki rambut yang terurai indah. Aku pun sempat jatuh hati padanya. Namun akhirnya, aku urungkan niatku itu.
Dia sudah punya kekasih, ke ke ke.....
Official memberi isyarat untuk melakukan putaran warm up. Hasil QTT sehari sebelumnya menempatkanku di grid dua, sedangkan peraih pole position adalah Ferdinand Aid Apais. Pembalap yang satu ini memang selalu membayang-bayangiku, dan aku pun mulai kesal dibuatnya. Pembalap ini adalah penghalangku menjadi juara dunia. Ingin rasanya aku meledakkan motornya saat ini juga. Namun aku pendam rasa emosiku itu. Aku tidak mau melakukan kesalahan hanya karena emosiku sendiri. Mungkin lebih baik kalau aku menenangkan pikiran sambil memanaskan banku dalam sesi warm up.
Sesi warm up selesai. Petugas official mengangkat bendera merah tanda balapan sudah bisa dimulai. Ketika lampu merah start sudah padam, seluruh pembalap memindah gigi dan memacu gas motornya dalam-dalam. Aku pun mulai memelintir gas perlahan-lahan, karena semua pembalap jaraknya masih terlalu rapat. Lomba sepanjang 28 putaran akan menjadi penentuan, apakah aku menjadi juara atau pecundang. Aku mulai membuka jarak terhadap pembalap lain di belakangku. Aku masih berjarak sekitar tiga meter dengan Ferdinand Aid Apais yang masih memimpin jalannya lomba.
Lomba tersisa 21 putaran lagi. Beberapa pembalap mulai berjatuhan. Aku merasa kasihan kepada mereka, namun aku tidak mau kehilangan konsentrasi. Sambil memindah gigi dari gigi 5 ke gigi 3, aku terus menguntit Ferdinand Aid Apais sambil merebahkan motorku. Ketika aku sudah melahap tikungan, aku membetot gas dalam-dalam sambil memindah gigi keempat, lalu kelima, lalu keenam. Motorku melaju cepat, namun itu tidak cukup untuk menyalip Ferdinand Aid Apais. Aku malah dipaksa untuk terus menguntitnya terus.
Saus kacang merah, kacang tanah, kacang hijau, sama kacang atom, batinku dalam hati.
Lomba tersisa 13 putaran lagi, dan aku masih tertinggal 0,3 detik dari pembalap sialan yang ada di depanku. Padahal aku sudah membaca jalur balapnya, namun seakan dia tidak memiliki kelemahan sama sekali. Aku pun merasa bahwa ban yang kupakai masih memiliki grip yang memadai hingga garis akhir. Aku pun mulai merasa putus asa, putus harapan, namun tanpa putus cinta.
Aku melihat pit-board, dan lomba tersisa lima putaran lagi.
Hah!? Lima putaran lagi?!
Dunia ini memang sudah gila!
Di depanku ini pembalap, monster, alien, atau apa?
Aku sudah tidak bisa tenang-tenang saja kalau situasinya sudah begini. Untung aku melihat pit-board yang disodorkan oleh para kru timku. Jika tidak, bisa bahaya.
Aku memutuskan untuk menyalip lebih ekstrem, dengan risiko aku terjatuh dan melupakan cita-citaku untuk menjadi juara dunia Moto2. Namun aku berpikir, jika aku terus begini sama saja menyerahkan gelar juara itu secara cuma-cuma. Akhirnya kuputuskan untuk berusaha lebih keras lagi untuk menyalipnya, terlepas dari segala resikonya.
Peduli setan dengan jatuh. Setan pun tidak akan pernah peduli aku jatuh atau tidak, batinku.
Lomba sudah memasuki last-lap, dan kini aku hanya berjarak 0,1 detik dengan Fedinand Aid Apais. Tikungan terakhir menjad hal yang krusial bagiku. Motor kami mulai memasuki tikungan terakhir itu. Aku pun menyalipnya dari sisi dalam. Seperti dugaanku, motorku mulai oleng. Ditambah lagi, motorku sedikit bersenggolan dengan motor Ferdinand Aid Apais sialan itu. Ketika sudah melewati tikungan terakhir itu, aku memacu gas dalam-dalam sambil memindah gigi secara beruntun. Tidak disangka, dia juga berusaha menyalipku juga setelah tikungan penentuan itu. Motor kami melaju hampir bersamaan memasuki garis akhir.
Jantungku berdegup kencang lagi.
Napasku mulai tidak beraturan lagi.
Namun limpaku tetap baik-baik saja.
Aku pun menjadi galau, tapi bukan karena salah pilih operator. Wajar saja aku galau, karena kami belum mengetahui hasil data telemetrinya. Aku pun kembali ke ­pit-stop untuk beristirahat.
Belum sempat aku menarik napas, juri memutuskan bahwa akulah yang menyentuh garis akhir lebih dulu. Itu artinya, akulah juara seri terakhir kelas Moto2. Di saat yang bersamaan, poinku bertambah menjadi 350, sedangkan Ferdinand Aid Apais poinnya menjadi 349. Meskipun selisih satu poin, namun itu cukup untuk menjadikanku juara dunia Moto2.
Aku senang bukan kepalang. Bukan kepaling, apalagi kepalung. Akhirnya aku bisa membuktikan kepada keluargaku dan juga orang-orang yang meremehkanku bahwa aku ternyata bisa menjadi juara. Aku berterima kasih kepada seluruh pihak yang telah menjadikanku seperti ini.
Juara dunia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar