Selasa, 01 Mei 2012

Katak Merah dan Katak Biru




KATAK MERAH DAN KATAK BIRU


Suatu pagi yang cukup damai, hiduplah dua ekor katak yang sudah tidak punya ekor lagi. Mereka adalah katak berwarna merah bernama Jackson, dan katak berwarna biru yang bernama Johnny. Mereka adalah duo pengelana yang telah melakukan perjalanan kemana-mana. Kota yang pernah mereka kunjungi antara lain London, Paris, Manila, Madrid, hingga Sukabumi. Tujuan mereka bepergian ke tempat yang eksotis seperti itu hanya satu : wisata kuliner.
Suatu hari, Jackson menawarkan tempat tujuan mereka berikutnya kepada Johnny.
“John, gue punya usul bagus nih, buat kota yang bakal kita datengin selanjutnya!”
“Apa itu?”
“Gimana kalo besok lusa kita ke L.A?”
“L.A!? Los Angeles!?”
“Lenteng Agung! Ya ke Los Angeles lah. Gue denger-denger, di sana ada restoran baru yang lagi beken. Mau nggak luh??”
“Boleh aja, gue sih oke-oke aja. Tapi, ada duit nggak?”
“Ada deh pokoknya. Kita tinggal berangkat.”
“ Emang loe punya berapa?”
“Dua ratus ribu.”
“Eh buseet, cuma dua ratus ribu! Ntar loe mau makan apa di sono!? Makan nasi kucing!? Kalo loe mau makan nasi kucing, di Jogja mah juga banyak. Angkringannya bejibun tuh, tinggal pilih! Mau makan nasi kucing aja sampe ke Amerika segala. Norak luh!” Johnny sewot.
“Eh kodok, maksud gue tuh dua ratus ribu dolar. Bukan dua ratus ribu perak! Kalo orang ngomong biarin sampe abis dulu kenapa sih!”
“Jangan ngatain gue kodok dong, KODOK!”
“Loe kan katak, bukan kodok. Liat dong judul yang ditulis sama Deeto Kongo, yang nulis cerpen ini. Tulisannya katak, bukan kodok. Baca dong, pake mata!”
“Mata apaan??”
“Mata kaki! Lama-lama loe ngeselin juga yak! Gini aja deh, loe mau apa nggak!?”
“Ya udah, gue mau. Tapi loe aja yang nyiapin bekal sama bawaan yang kudu kita bawa yak?”
“Terus, loe mau kemana?”
“Biar gue beli dulu tiket pesawatnya. Tempatnya emang rada jauh, tapi cuman satu kali naik angkutan umum. Gimana?! Oke nggak??”
“Sip!”
Maka, berangkatlah mereka ke Los Angeles naik pesawat Amphibi Air, suatu armada penerbangan yang cukup terkenal di kalangan hewan amfibi seperti mereka berdua. Sepanjang perjalanan, mereka melakukan aktivitas layaknya katak sejati. Seperti main kartu UNO, makan keripik, minum soda berlabel Katak-Cola, sampai tidur dengan posisi kayang, semua mereka lakukan. Bahkan Johnny dengan isengnya menaruh cabai yang pedas di dalam roti isi pesanan Jackson tanpa sepengetahuannya, hingga Jackson pun harus bolak-balik ke toilet sampai delapan kali.
“Gila! Pedes banget nih roti! Sampe perut gue mules-mules begini! Padahal gue pesennya roti isi daging, bukan roti isi sambel.” Jackson kesal bukan main.
Tidak terasa, sampai juge mereka di Amerika. Negara yang dijuluki dengan sebutan Negeri Paman Sam itu memang menakjubkan. Begitu tiba di bandara, mereka berdua sampai mencium lantai bandara saking senangnya.
“I’m coming Amerika! I’m comiing!” teriak Jackson, seakan tidak menyadari belasan pasang mata menatap dirinya dengan tatapan heran yang menyiratkan bahwa mereka seperti hewan gila.
“Eh, norak luh. Nggak gitu-gitu amat kali senengnya. Kayak orang yang belom pernah ke Amerika aja.”
“Gimana gue nggak seneng, ini adalah pengalaman hidup gue yang paling berharga!” sahut Jackson dengan wajah berseri-seri.
“Nah, sekarang kan udah sampe nih. Loe bilang kan ada restoran yang katanya udah beken banget. Sekarang, kita langsung aja ke tempatnya.”
“Ya udah. Tuh, taksinya udah ada di depan. Kita pake taksi bandara aja.”
Mereka pun menuju ke Miami, kota dimana restoran yang dimaksud Jackson berada. Selama perjalanan, mereka berdua asyik berbincang-bincang dengan supir taksinya. Begitu banyak hal yang mereka bahas. Mulai dari tempat-tempat yang menarik di Miami, apa saja sarana hiburannya, tempat penginapan yang bagus, hingga kisah perjalanan hidup sang supir. Bahkan, mereka sempat menawarkan kepada supir untuk ikut mereka makan-makan di restoran yang akan mereka tuju.
Sesampainya di sana, mereka langsung turun dan tentu saja tidak lupa untuk membayar ongkos taksi yang tarifnya 2 dolar per dua hewan. Lalu mereka mencari restoran yang dimaksud oleh Jackson.
“Jack, emang di mana restoran yang loe maksud?”
“Harusnya di sekitar sini. Kemaren gue lihat di internet letaknya di Miami. Biar cepet, gimana kalo nanya aja?”
“Okelah kalo begitu.”
Mereka bertanya pada seekor katak Amerika yang berambut kuning, bermata biru, berkacamata merek Oakley, dan bercelana panjang.
“Excuse me Sir, can you tell me about something?”
“Of course.”
“Where is the Amphibi Restaurant?”
“Amphibi Restaurant!? Are you tourist in here?”
“Right, Sir. Why?”
“Poor you. The restaurant was closed yesterday, because the food-poison.”
“What!? Food-poison??”
“Yeah. My advise, don’t go to the restaurant.”
Seketika tangan, kaki, dan kepala Jackson bergetar hebat. Dia tidak percaya, bahwa restoran yang dia baca di internet ternyata makanannya beracun. Padahal di internet tertera bahwa makanannya memakai bumbu alami. Johnny yang merasa kasihan lalu mengajak menginap di penginapan terdekat untuk menenangkannya.
“Sabar ya, Jack. Anggap aja ini keberuntungan.”
“Maksud loe!?”
“Setidaknya, kita-kita nggak terlanjur keracunan duluan. Ya udah, sekarang kita istirahat dulu. Besok, kita sarapan aja di Mc Donald. Abis itu kita pulang. Oke!?”
“Ya udah deh, terserah loe aja.”
Akhirnya, mereka berdua menginap di penginapan Miamotel. Keesokan harinya, mereka menuju Mc Donald untuk sarapan. Setelah agak kekenyangan, mereka membeli tiket pesawat untuk pulang ke Jakarta. Mereka berangkat Selasa pagi, namun kali ini mereka menggunakan jasa penerbangan Salamander Attack.
Selama di pesawat, Jackson tampak muram. Dia tidak ceria seperti saat mereka berangkat ke Amerika. Belum pernah Jackson bermuram durja seperti ini. Terakhir kali dia bersedih, saat Jackson berumur 11 tahun. Saat itu, motor Ducati 848 Evo-nya dijual untuk modal usaha, dan dia langsung menangis sejadi-jadinya.
Sesampainya di rumah mereka, tepatnya di daerah Condet, Jackson langsung menuju kamarnya seraya berkata, “Jangan ganggu gue dulu John, gue lagi pengen sendiri.”
Johnny pun mengangguk, lalu masuk ke kamarnya sendiri. Dia merasa kasihan kepada adik satu-satunya itu. Dia pun akhirnya terlelap dalam tidurnya.